Di Pondok Patin
SEPULANG kerja, di saat matahari perlahan-lahan merayap turun, di belahan barat. Kudapati rumahku dalam keadaan kosong.

Oleh: Muhamad Yusuf
SEPULANG kerja, di saat matahari perlahan-lahan merayap turun, di belahan barat. Kudapati rumahku dalam keadaan kosong. Biasanya, istri dan anakku selalu menungguku di depan pintu dengan senyum manis danwajah sumringah.
Aku hampiri Acil Sala, tetanggaku yang sedang menyusun kayu bakar di samping rumahnya.
“Cil, kemana ya istri dan anakku?” tanyaku penuh harap.
“Maaf Burhan, saya tidak tahu sebab saya baru saja pulang dari rumah pelanggan,” jawab Acil Sala ramah yang memiliki profesi sebagai tukang urut itu.
“Mungkin mereka ke warung,” tambahnya lagi.
Kemudian, aku permisi pulang. Rasa cemas mulai menderaku. Usai menunaikan salat Ashar, aku melanjutkan pencarian terhadap dua insan yang telah mengisi hidupku itu.
Dari teras rumahku, kulihat Amang Iyan, tetanggaku baru pulang dari sawah. Aku berlari-lari kecil menghampirinya.
“Saya mencari Wati dan Ridho. Apakah Amang bertemu dengan mereka?” tanyaku sedikit terengah.
“Mereka berada di gubuk patin!” jawab Amang Iyan sambil meletakkan cangkul dan parangnya di teras rumahnya. Aku agak terkejut dan heran mendengarkan keterangan Amang Iyan.