Bubur dan Kopi sebagai Simbol

PADA era modern dan canggih seperti sekarang, masih ada kebiasaan atau tradisi meletakkan bubur habang

Editor: Dheny

PADA era modern dan canggih seperti sekarang, masih ada kebiasaan atau tradisi meletakkan bubur habang (merah) maupun bubur putih serta kopi, di bawah piduduk atau kursi pelaminan pasangan pengantin Banjar. Tradisi tersebut dipertahankan sebagian kecil masyarakat Banua.

Seperti diungkapkan Isna, sewaktu melaksanakan perkawinan putranya, dia tidak melaksanakan tradisi menyediakan bubur habang, bubur putih dan kopi di bawah pelaminan.

“Kami menyerahkan semuanya kepada Allah. Masalah menyediakan bubur habang, bubur putih dan kopi, kami tak tahu tradisi itu. Mungkin itu kebiasaan urang bahari saja,” jelas ibu beranak tiga ini.

Budayawan Kalsel, Muchlis Maman memiliki pandangan sendiri mengenai piduduk ini. Dia mengatakan, tradisi yang dilakukan leluhur Urang Banjar itu memiliki filosofi yang cukup baik. Menurut dia, hakikat dari makanan bubur habang terasa manis rasanya dan bubur putih terasa hambar. Begitu juga kopi ada rasa pahit dan manisnya.

“Ini melambangkan bagi kedua mempelai, nantinya usai acara  perkawinan akan merasakan pahit-manisnya mengaruhi bahtera rumah tangga,” jelas Maman.

Dia menjelaskan, dahulu orang melakukan itu karena kearifan berpikir dan tak perlu menyampaikan dengan kata-kata. “Tradisi itu dilakukan secara turun temurun dan tidak melihat filosofi tadi,” jelasnya.

Sementara itu, Ustadz Sarmidji Aseri mengatakan, ada tradisi masyarakat Banjar meletakkan bubur habang dan bubur putih serta kopi pahit dan kopi manis di bawah kursi pelaminan tidak ditemukan dalam ajaran Islam, baik di Alquran maupun hadis. Itu merupakan kebiasaan atau tradisi masyarakat dahulu yang masih dipakai sebagian masyarakat.

“Menyediakan bubur habang dan bubur putih serta kopi pahit dan manis di bawah kursi pelaminan merupakan tradisi urang bahari. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Apabila ada keyakinan apabila menyediakan makanan dan minuman itu pesta perkawinan akan berjalan lancar atau sukses, itu mengarah ke sirik,” papar Sarmiji.

Kasubag Humas IAIN Antasari ini mengatakan, bila tidak disajikan bubur habang, bubur putih serta kopi pahit dan manis, pesta perkawinan tidak lancar atau sukses. “Kalau ada kepercayaan demikian, hati-hati. Itu mengarah ke syirik dan pantas dihindari,” tegasnya.

Tetapi, dosen IAIN Antasari ini mengatakan, bila meletakkan di bawah piduduk itu hanya sebagai simbol bukan sebagai keyakinan, hal itu tak jadi soal. Bubur habang disimbolkan sebagai tanda berani mengarungi bahtera rumah tangga, menjadi suami istri yang bertanggung jawab, berani mewujudkan rumah tangga sakinah, mawadah dan warahmah.

Putih diartikan tanda keikhlasan. Kedua mempelai melangsungkan perkawinan ikhlas hatinya, suci serta murni dan bersih. “Keduanya ikhlas karena Allah, bukan pangkat, jabatan dan materi,” tandasnya.

Begitu juga kopi pahit dan kopi manis, sebagai simbol keteguhan dalam mengaruhi bahtera rumah tangga. “Nanti pasangan pengantin ini, saat menjalani bahtera rumah tangga ada riak atau gelombang, ada suka dukanya, sakit dan bahagia sebelum mencapai pulau kebahagiaan,” papar Sarmiji.

Jadi, bila menyediakan makanan dan minuman itu hanya sebagai simbol saja, tidak mengapa. Malah itu menjadi pemacu semangat.
(syaiful anwar-royan naimi)

Sumber: Serambi Ummah
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

Halloween, Tak Perlu Ditiru Muslim

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved